Kamis, 02 September 2010

Guru = Banyak Omong dan Sombong

Studi kasus Pendidikan Nasional Tiga Dasa Warsa Terakhir

Tahun 1984 ketika penulis masih sekolah di SLTP, salah satu guruku mengungkapkan “Besuk tahun 2000, manusia mengalami evolusi proporsi tubuh, yaitu : badan kecil, kaki kecil, jari tangan besar dan kepalanya juga besar”.

Selanjutnya guruku menjelaskan bahwa “segala kegiatan umat manusia menggunakan perangkat digital, dengan hanya memencet tombol-tombol perkerjaan cepat selesai, sehingga jari-jari tangan manusia menjadi lebih besar dari ukuran normal. Sedangkan proporsi kepala lebih besar dari ukuran normal karena otak selalu dipakai untuk berpikir hal-hal yang bersifat ilmiah, krusial dan rumit demi kemajuan peradaban umat manusia”.

Benarkah…?
Peryataan guru tersebut ternyata tidak benar, sebab di pertengahan tahun 2009 tidak ditemukan evolusi proporsi tubuh manusia sebagaimana yang diungkapkan guruku di tahun 1984. Proporsi tubuh manusia di tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan proporsi tubuh manusia di tahun 1984. Mungkin teori evolusi-ya Darwin belum cukup waktu untuk mengalami perubahan proporsi tubuh manusia.

Pada tahun 1984 bangsa Indonesia belum banyak mengenal teknologi digital, walau di negara-negara Eropha telah berkembang pesat. Sebagi contoh perangkat teknologi digital adalah Komputer, kalkulator, camera, HP dan lainnya. Mungkin perangkat-perangkat inilah yang dimaksud guruku di tahun 1984, dan memang benar bahwa segala sesuatu bisa diselesaikan dengan hanya memencet tombol-tombol saja.

Apanya yang besar…?
Pernyataan guruku bahwa yang besar jari-jari tangan dan kepalanya, tetapi kenyataannya di tahun 2009 ini yang besar mulut dan sombongnya. Menurut Direktur Centre for Education Studies (CES) Jawa Tengah Hery Nugroho, bahwa budaya menulis di kalangan guru sangat minim, yaitu hanya 10% yang bisa menulis. Guru lebih senang berbicara daripada menulis. Namun tak sepenuhnya kesalahan guru, perguruan tinggi yang menghasilkan guru juga punya andil. Budaya menulis di waktu kuliah kurang berkembang dan dosenya-pun belum tentu bisa menulis (Suara Merdeka, 30 Juni 2009).

Guru lebih senang berbicara, disetiap pertemuan dengan siswa selalu berbicara atau berceramah sehingga siswanya menjadi bosan, ngantuk, dan tak mendapatkan pengalaman yang signifikan. Dalam kesempatan ini di benak siswa berkata “Guru besar mulutnya”. Sepanjang waktu pelajaran siswa disuruh mencatat, padahal materi yang dicatat bukan buku tulisan gurunya tetapi buku tulisan orang lain. Kemudian guru menerangkan isi buku tersebut, seakan-akan dirinya paling pintar, paling cerdas dan paling tahu. Dalam hal ini siswa berkata “Guruku Sombong”.

Guru atau pendidik yang tak bisa bepacu dengan perkembangan teknologi dipastikan akan mengalami masalah. Guru bisa kalah dengan siswanya yang aktif meng-apdate pengetahuannya. Ini membuat para guru kehilangan kharisma dan wibawanya. Contoh seorang guru di Tiongkok tahun 2005 bunuh diri karena pengetahuannya kalah dengan siswanya yang didapat dari internet. Contoh lagi di Jerman seorang guru mengundurkan diri dari profesinya karena siswanya lebih pintar dalam mengakses internet pada saat jam istirahat (Ardhie Raditya, Suara Merdeka, 6 Juli 2009).

Diskripsi diatas adalah contoh kenyataan seorang guru yang masih Gaptek (Gagap Teknologi). Guru yang tidak mengikuti perkembangan amat sangat menghambat perkembangan pendidikan dewasa ini. Idealnya guru harus menguasai IT (Information and Teknologi) dengan baik. Dengan demikian proses pembelajaran bisa berlangsung dengan sempurna. Perkembangan pengetahuan dan teknologi selalu bisa dihadirkan disetiap pertemuan di depan kelas. Mungkin inilah gagasan saudara Ardhie Raditya yang merunut dari “Revolusi Edukasi Berbasis Teknologi” gagasan Nicholas Negroponte, ahli komputer dari MIT-AS.

Malas membaca dan tidak bisa menulis adalah budaya guru Indonesia. Budaya guru ini membuat otak guru-guru Indonesia tetap bersih, karena tak pernah dipakai untuk berpikir secara ilmiah. Otak guru kecapekan kerena energinya terkuras untuk memikirkan masalah ekonomi keluarga. Sebab, gaji guru sangat kecil dibandingkan tanggungjabnya sebagai pendidik anak bangsa. Masalah ekonomi inilah yang membuat hipotesis guruku ditahun 1984 tidak terjawab.

Kembali ke tahun 1984, bahwa metode pembelajaran yang digunakan guru-guru di tahun 1984 lebih baik dibanding metode pembelajaran di tahun 2009. Tahun 1984 belum banyak buku, sehingga guruku memutar otak untuk membuat buku walau hanya dengan tulisan tangan. Pembelajaran secara aktual dan siswa lebih senang karena selalu diberi tugas praktik untuk mengerjakan lembar kerja. Guru tidak banyak berbicara, karena guru sebagai nara sumber, mediator, motivator, fasilitator dan atau teman belajar siswa.

Apabila semua guru Indonesia mengajar dengan metode yang menyenangkan siswa, tentunya tidak ada siswa yang berkata “Pak guru besar mulut dan sombong”.


sumber : www.estib.co.cc 
.

0 komentar:

Posting Komentar